Peringatan keluar halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Desainer of The One

The Opoo ya? : Hilmi bae lah pokokne..

Desainer of The Two

The Big Boss : Husin Tito Nur Chalish as Giring

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 08 Mei 2012

fakda

ilmu dakwah....

cobacoba

ancurr

uygvuftcyugvihbiubiug

Selasa, 01 Mei 2012

Bola Misterius di Cincin Saturnus



VIENNA, KOMPAS.com - Wahana antariksa Cassini berhasil menangkap citra bola misterius di cincin planet Saturnus. Bola misterius berukuran hampir 1 km itu seolah bergerak masuk dalam cincin Saturnus, meninggalkan ekor yang bercahaya di belakangnya. 

Citra hasil tangkapan Cassini ini dipresentasikan dalam pertemuan European Geosciences Union (GEU) di Vienna, Austria. Carl Murray yang merupakan anggota tim Cassini dari Queen Mary University of London di Inggris adalah peneliti yang mempresentasikan hal ini.

Bola misterius atau yang sebenarnya bola es ditangkap di cincin F planet Saturnus. Cincin F merupakan bagian terluar dari cincin Saturnus. Lokasi cincin ini 3000 km dari cincin A. Sementara, keliling cincin F sekitar 900.000 km. 

Ilmuwan mengatakan bahwa terbentuknya bola salju tak lepas dari peranan Prometheus, bulan Saturnus selebar 40 km. Gravitasi Prometheus berakibat pada pembentukan gumpalan es. Diasumsikan juga bahwa pasang surut pengaruh gravitasi menyebabkan gumpalan es bisa pecah.

"Kami mengetahui bahwa Prometheus, selain mampu memproduksi pola reguler, juga mampu memproduksi konsentrasi material di cincin Saturnus. Kami hanya menyebutnya bola salju raksasa," ungkap Murray seperti dikutip BBC pada Selasa (24/4/2012). 

"Dan jika ini bisa survive, karena Prometheus akan kembali ke titik yang sama di cincin F dan berinteraksi lagi, bola salju bisa tumbuh, dan bisa saja membentuk moonlet yang menabrak bagian inti dari cincin F," terang Murray.

Temuan bola raksasa ini adalah keberuntungan. Murray sedang mengamati Prometheus ketika akhirnya melihat ekor bercahaya yang tak mungkin berasal dari Prometheus itu sendiri. membingkar kembali arsip 20.000 citra, peneliti menemukan 500 citra serupa.

Murray mengungkapkan, bola raksasa ini menumbuk cincin F dengan kecepatan rendah, sekitar 2 meter per detik. Sementara itu, bola raksasa juga menghasilkan ekor bercahaya disebut jet yang panjangnya mencapai 40 - 180 kilometer. 

Fenomena di cincin Saturnus menarik perhatian para ilmuwan. Cincin Saturnus sendiri bisa menjadi model untuk mempelajari pembentukan Tata Surya. Beberapa fenomena di cincin Saturnus mungkin bisa memberi petunjuk tentang apa yang terjadi di tata surya 4,5 miliar tahun lalu.

Cassini adalah proyek kerjasama antara badan antariksa Amerika serikat, Eropa dan Italia. Cassini mulai memasuki orbit Saturnus pada tahun 2004. Direncanakan, misi Cassini akan berakhir tahun 2017, dimana Cassini akan 'bunuh diri' di atmosfer Saturnus.

Hujan Meteor Lyrid Memuncak Akhir Pekan Ini



JAKARTA, KOMPAS.com - Minggu ini adalah saatnya menyusun permohonan karena akan banyak "bintang jatuh". Akhir pekan ini adalah diperkirakan masa puncak hujan meteor Lyrid.
Hujan  Meteor Lyrid akan memuncak pada Sabtu hingga Minggu, 21-22 April 2012. Lyrid bisa diamati tanpa menunggu lewat tengah malam.
"Hujan meteor Lyrid ini hujan meteor yang relatif sore. Jadi, jam 22.00 atau 23.00 sudah bisa diamati," kata Mutoha Arkanuddin dari Jogja Astro Club saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/4/2012).
Selain itu, lanjut Toha, tahun ini akan lebih mudah diamatai karena Bulan sedang ada dalam fase bulan baru sehingga cahayanya tidak mengganggu pengamatan.
Mutoha mengatakan, ada 20-50 meteor yang bisa disaksikan per jamnya. Jika kondisi cuaca benar-benar bagus, jumlah yang disaksikan bisa mencapai 100 meteor per jam.
Saat jatuh, meteor Lyrid akan bergerak dengan kecepatan 49 km/detik. Situs Spaceweathermenyebutkan bahwa beberapa meteor Lyrid mungkin lebih terang dari Venus.
Hujan meteor terjadi saat Bumi melewati area pecahan debu komet ketika mengelilingi Matahari. Ketika kontak dengan atmosfer Bumi, seprihan-serpihan tersebut terbakar dan tampak sebagai meteor.
Induk dari meteor Lyrid adalah komet C/1861 G1 Thatcher atau komet Thatcher. Nama Lyrid berasal dari konstelasi Lyra, tempat meteor ini seolah-olah datang.
Satu syarat untuk bisa melihat hujan meteor adalah tidak mendung dan tidak hujan. Selain itu, langit gelap dibutuhkan untuk pengamatan maksimal.
Untuk melakukan pengamatan, gunakan baju hangat, cari lokasi yang lapang dan relatif lebih gelap. Alat bantu tak dibutuhkan. pengamatan ramai-ramai lebih mengasyikkan.
Jika ternyata hujan atau mendung, tak perlu khawatir. Hujan meteor akan disiarkan secara langsung oleh NASA, tentu saja mengikuti waktu di Amerika serikat.

Untuk melihat, kunjungi link http://www.nasa.gov/connect/chat/lyrids2012_chat.html. Siaran langsung hujan meteor bisa disaksikan pada Sabtu dan Minggu pukul 11.00-16.00 WIB.

Pluto Punya Tetangga Jauh


PASADENA, KOMPAS.com - Pluto punya tetangga jauh. Bernama Sedna, tetangga Pluto tersebut ditemukan pada tahun 2003 dan mengorbit Matahari dari jarak lebih dari dua kali jarak Matahari-Pluto.

Sebelumnya, diperkirakan Sedna berukuran 2/3 ukuran Pluto. Namun, studi terbaru menemukan bahwa Sedna lebih kecil, hanya berukuran 43 persen luas Pluto.

Studi terbaru itu dilakukan oleh Andras Pal dari Konkoy Laboratory di Hungaria dan rekannya. Mereka menggunakan Herschel Space Observatory milik European Space Agency (ESA) untuk mendeteksi Sedna berdasarkan inframerah.

"Seda sangat dingin," kata Pal. Benda angkasa yang sempat diduga planet kesepuluh di Tata Surya ini mengorbit pada jarak 13 miliar kilometer dan memiliki suhu -253 derajat Celsius.

Observasi dengan Herschel menunjukkan bahwa Seda merefleksikan lebih banyak sinar matahari dari yang siduga. Ini menunjukkan bahwa objek angkasa ini begitu kecil dan terlihat redup.

"Kami mengharapkan objek yang lebih besar dan gelap," kata Pal seperti dikutip National Geographic, Kamis (18/4/2012). Diameter Sedna hanya 995 kilometer, lebih kecil dari bulan Pluto, Charon.

Mike Brown, astronom dari California Institute of Technology, yang menemukan Sedna tahun 2003 mengatakan, "Kita tak pernah pengukuran yang bagus sebelumnya."

Pluto semula juga diduga lebih besar dari Merkurius namun lebih kecil dari Mars. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa Pluto hanya berukuran 1/2 Merkurius.

Hasil penelitian Pal telah masuk ke arsip penelitian online arXiv.org. Studi akan segera dipublikasikan di jurnal Astronomy and Astrophysics Letter.

Bintang Mampu "Mengadopsi" Planet



MASSACHUSETS, KOMPAS.com - Studi terbaru menyatakan bahwa miliaran bintang yang ada di Galaksi Bimasakti mampu 'mengadopsi' planet yatim piatu yang merana di angkasa. 

Dengan cara itu, planet yatim piatu yang terbentuk di sebuah tata surya dan akhirnya terlempar keluar bisa menemukan 'orang tua' baru di sistem bintang lain.

"Bintang bertukar planet seperti tim baseball bertukar pemain," kata Hagai Perets, peneliti dari harvard Simthsonian Center for Astrophysics. 

Studi dilakukan Perets bersama rekannya, Thijs Kouwenhoven dari Peking University, Cina. Hasil studi dipublikasikan di Astrophysical Journal, Jumat (20/4/2012). 

Untuk sampai pada hasil penelitian, Perets dan Kouwenhoven melakukan simulasi kluster bintang muda yang memiliki planet yang melayang bebas atau yatim piatu. 

Peneliti menemukan, jika jumlah planet sama dengan jumlah bintang, maka 3-6 persen bintang akan mengadopsi planet yatim piatu. Makin masif bintang, makin besar kemungkinan bintang mengadopsi.

Studi fokus pada kluster bintang muda karena adopsi planet lebih mungkin terjadi jika bintang dan planet yatim piatu terkumpul di wilayah yang relatif dekat.

Pada awal sejarahnya, bintang dalam kluster bintang terletak berdekatan. Seiring waktu, kluster semakin menjauh. Jadi, adopsi planet harus terjadin pada awal sejarah kluster bintang.

Planet yatim piatu terbentuk secara alami dalam proses pembentukan bintang. Sistem bintang memiliki beberapa planet. Satu planet bisa saja terlempar keluar oleh sebab tertentu. 

Planet yang terlempar bisa tertarik oleh gravitasi bintang lain dan diadopsi.

Planet hasil adopsi biasanya berjarak ratusan atau ribuan kali lebih jauh dari jarak Bumi-Matahari. Selain itu, ortbit planet ini juga berbeda dengan planet asli, bahkan bisa bergerak mundur dalam mengelilingi Matahari.

Sejauh ini, astronom belum menemukan bukti nyata adanya adopsi planet. Namun, studi bisa dilakukan dengan melihat planet di bintang bermassa rendah dan berjarak jauh dengan bintangnya.

Bukti terbaik adanya adopsi planet yang dimiliki saat ini adalah temuan dari European Sothern Observatory, dimana ada dua planet bermassa 7 dan 14 kali Jupiter yang mengorbit satu sama lain tanpa bintang.

Jika bintang bisa mengadopsi planet, apakah Matahari sebagai bintang di tata Surya juga bisa melakukannya?

"Tak ada bukti bahwa Matahari menangkap planet," kata Perets seperti dikutip Physorg, Selasa (17/4/2012). 

"Tapi tetap ada kemungkinan adanya dunia kecil yang mungkin berada di tepian Tata Surya kita," tutur Perets.

Rencana Penambangan Asteroid



KOMPAS.com  Sejumlah eksekutif perusahaan teknologi dan sutradara film berencana melakukan survei dan menambang mineral langka dari asteroid yang mengorbit di dekat Bumi.

Rencana bernilai miliaran dollar AS itu termasuk penggunaan robot di ruang angkasa untuk mencari komponen kimia minyak dan mineral, termasuk emas dan platinum, dari bebatuan tersebut.
  
Para penggagasnya antara lain sutradara terkenal, James Cameron, dan pemimpin eksekutif raksasa internet Google, Larry Page dan Eric Schmidt.

Mereka bahkan berencana menciptakan depot bahan bakar di ruang angkasa pada tahun 2020.

Namun, sejumlah ilmuwan menyatakan keraguannya dengan menyebut rencana itu terlalu berani, sulit, dan terlalu mahal.

Para ilmuwan menyatakan, biaya untuk mewujudkan rencana itu sulit ditekan walaupun harga platinum dan emas sekitar 35 poundsterling (Rp 490.000).

Sebuah misi Badan Ruang Angkasa Amerika, NASA, yang rencananya akan membawa pulang hanya 60 gram materi dari asteroid ke Bumi memerlukan biaya sekitar 1 miliar dollar AS.

Sasaran ribuan asteroid

Langkah awal yang akan dilakukan dalam waktu 18 sampai 24 bulan ke depan mencakup peluncuran teleskop yang akan mencari sasaran asteroid yang kaya akan sumber mineral. Tujuannya adalah membuka eksplorasi ruang angkasa untuk industri swasta.

Dalam waktu lima sampai sepuluh tahun kemudian, perusahaan pengelola berharap mereka bisa bergerak dari bisnis penyewaan landasan pengamatan di orbit ke penambangan ribuan asteroid yang mengorbit di dekat Bumi dan menyaring bahan mentah yang dikandung.

Perusahaan yang disebut Planetary Resources ini juga didukung oleh penggagas pariwisata ruang angkasa, Eric Anderson; mantan calon presiden Amerika, Ross Perot; dan astronot NASA yang berpengalaman, Tom Jones.

"Kami tidak memperkirakan perusahaan ini dapat segera mengeruk keuntungan. Upaya ini akan makan waktu lama," kata Eric Anderson kepada kantor berita Reuters.

Profesor Jay Melosh dari Universitas Purdue mengatakan, biaya rencana ini sangat tinggi dan menyebut eksplorasi ruang angkasa sebagai "olahraga yang hanya diikuti oleh negara-negara kaya dan mereka yang ingin menunjukkan keunggulan teknologi."

Namun, Eric Anderson—yang mendirikan perusahaan pariwisata ruang angkasa, Space Adventures— mengatakan dia sudah terbiasa menghadapi orang yang skeptis. "Kami bergerak dalam industri ini selama puluhan tahun. Namun, ini bukan yayasan sosial, dan kami akan menghasilkan uang dari awal," katanya.

Wajah Sumeria Ada di Candi Jawa?


JAKARTA, KOMPAS.com — Agung Bimo Sutejo dari Yayasan Turangga Seta mengungkapkan bahwa candi-candi di Jawa menyimpan patung dan relief wajah bangsa asing, salah satunya orang Sumeria.

Salah satu candi yang memiliki patung manusia Sumeria adalah Candi Cetho. Berdasarkan catatan sejarah, candi ini dibuat pada zaman Majapahit, pemerintahan Raja Brawijaya V. 

Kesimpulan bahwa patung di Candi Cetho merupakan orang Sumeria, menurut Agung, bisa dilihat dari ciri-ciri dan atribut yang dikenakan sosok dalam patung tersebut.

"Orang Sumeria memakai gelang yang mirip jam tangan. Pada patung terlihat. Ini berarti, patung itu bukan orang Jawa," ungkap Agung yang ditemui di Jakarta, Kamis (29/3/2012).

Atribut lain menunjukkan adalah bahwa patung di Candi Cetho hanya menggunakan anting-anting. Padahal, orang Jawa biasanya menggunakan sumping.

Dalam salah satu patung di Candi Cetho, figur patung tampak dalam keadaan takut. Menurut Agung, tampaknya figur tersebut takluk pada orang Jawa.

Agung menguraikan, figur Sumeria bukanlah satu-satunya bangsa yang dijumpai dalam relief candi Jawa. Di Candi Penataran di Jawa Timur, terdapat figur China, Aztec, dan Mesir.

Salah satu relief di Candi Penataran menggambarkan adanya tiga orang yang berpakaian mirip orang Mesir duduk bersebelahan dalam posisi menyembah.

Di relief lain di Candi Penataran, terdapat gambaran leluhur Nusantara yang tengah berjuang menaklukkan bangsa Indian. Lebih kurang ada lima relief yang diungkap oleh Turangga Seta.

Bangsa Indian, menurut Agung, memiliki pasukan gajah purba. Figur gajah tersebut dijumpai dalam relief. Hal ini menandai bahwa leluhur Nusantara menaklukkan Bangsa Maya dari Kerajaan Copan di Honduras.

Berdasarkan beberapa temuan tersebut, Agung dan rekannya di Turangga Seta mempercayai adanya Benua Atlantis yang dideskripsikan oleh Arysio Santos dalam bukunya. Atlantis ada di wilayah Indonesia.

Terkait dengan dugaan adanya piramida di Gunung Sadahurip dan Gunung Padang, Agung menilai hal tersebut sangat mungkin. Indonesia telah memiliki peradaban sejak ribuan tahun lalu. 

Pseudo-arkeologi

Menanggapi pendapat Agung dan Turangga Seta, arkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirdjo, mengungkapkan bahwa temuan tersebut termasuk pseudo-arkeologi.

"Di Mesir itu juga ditemukan gambar mirip tank dan helikopter. Tapi apakah benar ada tank dan helikopter saat itu? Ada juga figur orang berkerudung, sangat persis astronot. Tapi apa benar?" tanya Daud.

Menurut Daud, keberadaan orang Sumeria, Mesir, atau Afrika di Jawa mungkin saja. Walaupun demikian, hal itu tak bisa serta merta dikaitkan dengan adanya benua Atlantis.

Meski demikian, Daud menyambut baik temuan Turangga Seta dan merasa bahwa kalangan arkeolog wajib memfasilitasi. Kajian secara kritis harus dilakukan.

Manusia Menggunakan Api sejak 1 Juta Tahun Lalu


NEW YORK, KOMPAS.com — Kapan manusia mulai menggunakan api? Hal ini telah menjadi perdebatan sejak lama. Studi terbaru menunjukkan bahwa manusia menggunakan api sejak 1 juta tahun yang lalu.

Peneliti dari Boston University, Fransesco Berna, menemukan bukti penggunaan api di Gua Wonderweck, Afrika Selatan. Ia memublikasikan hasil risetnya di Proceedings of the National Academy of Sciences.

Sebelumnya, ada pendapat bahwa nenek moyang manusia mulai memakai api sejak 1,5 juta tahun lalu atau bahkan lebih awal. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana membedakan api alami dan buatan?

Pengetahuan tentang awal manusia menggunakan api sendiri sangat penting dalam arkeologi dan evolusi. Perilaku ini menjadi petunjuk evolusi otak dan kecerdasan manusia.

Dalam pernyataan kepada AP, Senin (2/4/2012), Berna mengungkapkan bahwa bukti adanya penggunaan api adalah abu dan tulang yang terbakar beberapa kali.

Michael Chazan dari University of Torronto yang terlibat studi mengatakan, leluhur manusia saat itu mungkin membawa material yang sudah terbakar secara alami ke gua untuk membuat api lebih besar.

Berdasarkan alat-alat batu yang ditemukan di lokasi penelitian, Chazan mengatakan bahwa spesies manusia yang mulai membuat api ialah Homo erectus. Spesies ini sudah ada sejak 2 juta tahun lalu.

Dalam riset, Berna memang tidak menemukan bukti persiapan pembakaran seperti perapian atau lubang cukup dalam. Tetapi, ia berpendapat bahwa tak mungkin pembakaran terjadi karena alam, misalnya petir.

Jejak penggunaan api berada 30 meter dari mulut gua. Dan, karena adanya perubahan sejak 1 juta tahun lalu, maka mungkin lokasi penggunaan api sebenarnya lebih dalam.

Berna juga menuturkan bahwa api tak mungkin berasal dari pembakaran guano atau kotoran kelelawar. Dalam beberapa kasus lain, ini bisa terjadi, walau jarang ditemui.

Berna mengungkapkan, tulang bisa menjadi petunjuk adanya pembakaran sebab mengalami perubahan warna dan kimia. Bukti pembakaran juga ada di batuan. Abu membuktikan adanya pembakaran daun, rumput, dan ranting.

Belum diketahui tujuan penggunaan api saat itu. Peneliti menduga, api bisa digunakan untuk memasak. Leluhur memakan daging dan melemparkan tulangnya ke perapian. Kemungkinan lain, api dipakai untuk menghangatkan dan melindungi dari serangan hewan liar.

Hasil penelitian Berna mendapatkan tanggapan dari banyak peneliti.

Anne Skinner dari William College, Williamstown, Massachusets, mengatakan bahwa hasil studi ini harus dibandingkan dengan studi lain di tempat terdekat yang menunjukkan penggunaan api dalam waktu sama.

Menurut Skinner, kombinasi beberapa bukti dari beberapa tempat yang berdekatan akan lebih kuat. Sebelumnya, tulang yang terbakar juga ditemukan di gua Gua Swartkrans yang tak jauh dari Gua Wonderweck.

Wil Roebroeks dari Leiden University di Belanda dan Paola Villa dari University of Witwatersrand di Johannesburg di Afrika Selatan mengatakan bahwa studi Berna tidak memberi bukti kuat.

Menurut Roebroeks dan Villa, tak ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa leluhur manusia sudah menggunakan api selama itu. Studi sebelumnya mengungkapkan bahwa manusia baru menggunakan api 400.000 tahun lalu.

Berna akan kembali lagi ke Gua Wonderweck untuk melakukan penelitian lebih lanjut tahun ini.

Fosil Dinosaurus Berbulu Terbesar Ditemukan


BEIJING, KOMPAS.com — Xu Xing, peneliti dari Institute of Vertebrate Palaentology and Palaeoanthropology di Beijing, China, menemukan spesies baru dinosaurus yang dinobatkan sebagai satwa berbulu dengan ukuran terbesar.

Spesies baru tersebut dideskripsikan dari tiga spesimen fosil yang ditemukan di Provinsi Liaoning, timur laut China. Satu spesimen ialah individu dewasa, sedangkan dua lainnya adalah anakan.

Jenis dinosaurus terbesar yang ditemukan diberi nama Yutyrannus huali, diambil dari bahasa Latin dan Mandarin yang berarti raja yang besar dan menawan.

Ilmuwan memperkirakan bahwa dinosaurus tersebut hidup sekitar 125 juta tahun lalu. Ukuran berat jenis dinosaurus ini ketika dewasa bisa mencapai 1,4 ton.

"Bulu Yutyrannus seperti filamen yang sederhana. Bulunya lebih seperti bulu anak ayam modern daripada bulu burung dewasa yang kaku," papar Xing seperti diberitakan AFP, Kamis (5/4/2012).

Penemuan ini membuktikan adanya dinosaurus berbulu. Ilmuwan berpendapat, bulu dinosaurus bisa berfungsi sebagai penghangat, menarik pasangan, maupun unjuk kegagahan saat berkelahi.

Yutyrannus huali masih merupakan kerabat Tyranosaurus rex yang hidup hingga 65 juta tahun lalu, saat asteroid raksasa diperkirakan menumbuk Bumi dan memusnahkan sebagian besar makhluk hidup.

Perbedaannya, jika T-rex memiliki dua jari fungsional, Yutyrannus hulai memiliki tiga jari fungsional. Selain itu, jenis baru ini juga punya kaki yang khas, berbeda dengan kerabat T-rex lainnya.

Meski berbulu, Yutyrannus huali terlalu berbulu untuk bisa terbang. Namun, ilmuwan tetap memercayai bahwa burung masa kini merupakan hasil evolusi dinosaurus yang suka hinggap di pohon dan akhirnya belajar terbang.

Selain berbulu, dinosaurus jenis baru ini juga memiliki gigi tajam. Kaki dinosaurus ini lebih pendek dari kaki belakangnya sehingga gerakan dinosaurus lebih didukung oleh kaki belakang.

Penemuan dinosaurus ini dipublikasikan di jurnal Nature.

Goa Manusia Purba Ditemukan di Tulungagung



TULUNGAGUNG, KOMPAS.com — Setelah selama ini tak pernah lagi diketahui persis keberadaannya, akhirnya goa tempat dokter Belanda, Eugene Dubois, menemukan tengkorak manusia purba di Kecamatan Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, ditemukan.

Goa ditemukan Trijono (41), guru Sejarah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Tulungagung, yang juga pemimpin lembaga Kajian Sejarah Sosial dan Budaya (KS2B). Trijono terbawa nalurinya sebagai ilmuwan alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana mencari-cari lokasi kerja Dubois hingga akhirnya menemukannya.

Trijono yang ditemui pada Kamis (12/4/2012) mengungkapkan, dia telah menguji temuannya berdasarkan dokumen dan catatan sejarah Dubois. Dia yakin, lokasi itulah yang merupakan lokasi kerja Dubois yang menemukan tengkorak manusia purba Homo wajakensis tahun 1889. Dengan demikian, situs-situs manusia Jawa yang ditemukan Dubois kian lengkap bersama lokasi temuan Dubois lainnya di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, dan di Sangiran, Solo, Jawa Tengah.

"Tentu saja lokasi ini memerlukan sebuah pengujian lengkap dan menyeluruh dari para pakar prasejarah untuk memastikan kebenarannya. Saat ini, tim dari Universitas Gadjah Mada sudah berencana melakukan ekspedisi ke goa ini, selain ekspedisi ke lokasi purbakala lainnya di Tulungagung, pada awal Mei 2012 untuk memastikannya," tutur Trijono.

Sumber informasi mengenai karya Dubois ditulis oleh sejarawan Paul Strom dalam buku yang terbit tahun 1995, Scriptura Geologica, the Evolutionary Significance of the Wajak Skull National Natuurhistorisch Museum, Geboren te's Gravenhage. Setelah membaca buku itu, Trijono menelusuri lokasi tersebut bersama tim K2SB yang dipimpinnya.

Menurut dia, selama ini entah mengapa lokasi kerja Dubois ini tak dikenal lagi oleh masyarakat ilmiah dan masyarakat Tulungagung. Hanya dua lokasi kerja Dubois yang dikenal, yakni di Trinil dan Sangiran, yang kini sudah didirikan museum. "Mengapa bisa dilupakan dan malah tidak diketahui keberadaaannya, saya tidak paham. Saya datang ke Tulungagung tahun 2004 karena diterima bekerja sebagai guru Sejarah di MAN 1. Sejak itu saya mencari-cari, bukan hanya goa Homo wajakensis saja, melainkan juga semua situs sejarah yang lain, termasuk sembilan situs sejarah Majapahit," ungkapnya.

Ada sejumlah tanda tanya, kata Trijono, karena pada masa yang cukup dekat dengan masa sekarang itu Dubois tercatat bekerja di Wajak, bukan Tulungagung. Kini, Wajak adalah nama kecamatan. Itu sebabnya, spesies manusia prasejarah itu dinamai wajakensis. "Lalu, pertanyaan saya, di mana Tulungagung masa 1889? Wajak hanya berjarak 15 kilometer dari Tulungagung. Mengapa tidak dinamai tulungagungensis? Kami belum selesai menjawab soal itu," katanya.

Buku itu kemudian menuntun Trijono hingga ke goa tempat Dubois menemukan tengkorak manusia purba. Salah satu yang paling meyakinkan, Trijono menemukan tugu pabrik marmer zaman Belanda. Dalam laporannya, Dubois menyebutkan, goa manusia purba itu berada di depan tugu marmer tersebut. "Tugu itu saya temukan, persis seperti penjelasan Dubois. Kalau masa sekarang, tugu marmer itu penanda lokasi, seperti kira-kira koordinat GPS," ujar Trijono.

Dubois adalah seorang dokter militer Belanda pada era tanam paksa (cultur stelsel). Seperti ilmuwan Barat umumnya, Dubois gemar melakukan penelitian. Di lokasi-lokasi kerjanya, Dubois mengisi waktu senggang setelah selesai bekerja dengan mencari temuan-temuan purbakala, termasuk saat bekerja di Wajak, Tulungagung.

Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Tulungagung Hendri Sugiarti menjelaskan, pihaknya menyambut sangat baik temuan ini dan kini malah sudah menyiapkan pembuatan monumen di lokasi tersebut. "Saat ini, kami menyambut kedatangan tim besar prasejarah dari Universitas Gadjah Mada yang hendak melakukan eksplorasi dan penelitian di bekas goa Dubois. Kami berharap akan bisa membuat museum serta menyiapkan sarana dan prasarana untuk menjadikannya lokasi wisata ilmiah. Namun, itu masih akan dibahas oleh pemkab," katanya.

Ditemukan di Goa Kidang


BLORA, KOMPAS.com — Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan dua kerangka manusia prasejarah di Goa Kidang, Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Satu kerangka Homo sapiens atau manusia prasejarah yang sudah berpikir maju itu ditemukan utuh beserta kerangka kaki.

Goa Kidang berada di kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara dan berjarak sekitar 35 kilometer dari kota Blora. Goa itu berupa ceruk gunung karst sedalam 15 meter dari permukaan tanah bukit karst. Untuk masuk ke dalam goa tersebut harus menuruni jalan setapak.

Ketua Tim Pola Okupasi Goa Kidang Balai Arkeologi Yogyakarta Indah Asikin Nurani menjelaskan, kerangka Homo sapiens yang utuh ditemukan pada kedalaman 115 cm. Kerangka itu berada dalam posisi mirip bayi meringkuk di dalam rahim dengan kedua tangan menjadi bantalan tengkorak dan kaki terlipat.

Adapun kerangka Homo sapiens yang lain berada pada kedalaman 155 cm. Namun, tim baru menemukan bagian kaki saja karena posisinya berada di lapisan tanah di bawah kerangka Homo sapiens yang utuh.

"Dari hasil penanggalan radiokarbon, kedua kerangka itu berada di lapisan tanah yang berusia antara 16.000 tahun hingga 20.000 tahun lalu. Kami memperkirakan Homo sapiens itu hidup pada zaman Plestosen akhir hingga awal Holosen," kata Indah, Sabtu (28/4/2012) di Blora.

Menurut Indah, temuan itu menguak studi baru tentang manusia prasejarah yang sudah mengenal ritual penguburan. Penguburan manusia tersebut menghadap ke barat atau posisi matahari terbenam, terdapat susunan bongkahan batu gamping, penaburan remis cangkang kerang, dan remukan batu gamping merah.

Temuan manusia prasejarah itu juga membuka pengetahuan baru tentang kecerdasan manusia prasejarah. Manusia Goa Kidang membuat alat berburu dan meramu dengan teknologi yang lebih maju dibanding temuan jenis Homo sapiens lain.

"Mereka membuat peralatan dari bahan cangkang kerang dan tulang binatang yang dibentuk dan diasah dengan alat batu. Mereka juga membuat mata anak panah yang terbuat dari tulang," jelas Indah.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Perhubungan, Pariwisata, Kebudayaan, Informasi, dan Komunikasi Kabupaten Blora, Suntoyo, mengemukakan, temuan itu semakin memperkaya khasanah arkeologi di Blora. Sebelumnya, di Blora banyak ditemukan fosil binatang purba dan manusia prasejarah Homo soloensis, di Ngandong, Kecamatan Kradenan.

"Tentu saja kami akan melindungi dan melestarikan situs itu bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat setempat. Kami juga menjadikan kawasan itu sebagai kawasan lindung," kata Suntoyo.

Situs Goa Kidang Jadikan Museum Alam


BLORA, KOMPAS.com - Balai Arkeologi Yogyakarta merekomendasikan situs Goa Kidang di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menjadi museum dan laboratorium alam. Hal itu menyusul temuan dua kerangka manusia prasejarah di goa pegunungan karst tersebut.


Temuan itu membuktikan kalau goa karst dipergunakan sebagai hunian manusia prasejarah. Di goa itu ditemukan pula cangkang kerang, baik berupa peralatan maupun sampah.
-- Indah Asikin Nurani

Satu kerangka masih utuh ditemukan dalam posisi meringkuk seperti bayi di dalam rahim. Adapun yang satunya berupa kerangka kaki.

Keduanya termasuk jenis Homo sapiens yang umur fosilnya 16.000-20.000 tahun lalu. Mereka hidup pada akhir zaman Plestosen hingga awal Holosen.

Ketua Tim Pola Okupasi Goa Kidang Balar Yogyakarta Indah Asikin Nurani, Senin (30/4/2012), mengatakan, temuan itu membuktikan kalau goa karst dipergunakan sebagai hunian manusia prasejarah. Di goa itu ditemukan pula cangkang kerang, baik berupa peralatan maupun sampah.

Goa Kidang sendiri berbentuk ceruk. Ceruk terjadi dari proses alam, yaitu hancurnya salah satu bagian dinding karst yang merupakan penyimpan air pegunungan karst.

"Terdapat dua Goa Kidang. Kami menamakan Goa Kidang A dan AA. Keduanya sangat luas dan berada di bentang alam yang indah," kata Indah.

Untuk itu, Indah menambahkan, lokasi itu sangat bagus jika dijadikan museum dan laboratorium alam. Para peneliti bisa meneliti di sana dan masyarakat umum dapat berkunjung sembari berimajinasi tentang kehidupan manusia ribuan tahun lalu.

"Tentu saja harus ditindaklanjuti dengan penataan lokasi goa dan penambahan sarana dan prasarana seperti diorama manusia prasejarah dan aktivitasnya," kata dia.